KedaiPena.Com – Pegamat hukum yang juga mantan hakim pengadilan Negeri Jakarta Pusat Syarifudin menilai kejahatan atau mafia kepailitan saat ini sudah sangat serius. Banyaknya perusahaan-perusahaan yang dipailitkan oleh pengurus atau kurator dengan cara-cara tidak etis bahkan melanggar pidana. Hal ini harus segera ditangani oleh pihak berwenang.
“Mahkamah Agung harus menelaah dan memeriksa sejumlah kasus kepailitan yang banyak membelit pengusaha nasional kita. Ini tidak boleh dibiarkan karena tujuan UU PKPU dan Kepailitan bukan untuk menghancurkan ekonomi nasional, malah sebaliknya,†ujar Syarifudin di Jakarta, Kamis (22/12).
Mantan hakim pengawas itu mencontohkan kasus pailit yang menjerat PT Meranti Maritime dan Henry Djuhari yang diprakarsai oleh pengurus atau kurator yang ditunjuk oleh Maybank. Menurutnya, mempailitkan kreditur dengan cara-cara tidak fair, merupakan kekeliruan yang nyata.
“Untuk kasus yang dialami Meranti Maritime saya kira ada pelanggaran nyata. Penunjukan pengurus Maybank di Pengadilan Niaga menyalahi prosedur,†katanya.
“Ini kesalahan besar, mekanisme dan prosedur PKPU tidak terjadi sebagaimana mestinya. Mengangkat pengurus tambahan hanya karena usul satu kreditur tanpa persetujuan mayoritas kreditur merupakan tindakan yang salah,†ungkapnya.
Setelah pengurus berhasil masuk ke proses PKPU, mereka kemudian memain kan hak suara, antara lain dengan menolak hak suara kreditur yang mendukung perdamaian – tanpa mencocokkan dengan debitur seperti dituang dalam undang-undang.
Putusan pailit Meranti Maritime menjadi janggal karena ternyata seluruh kreditur, kecuali Maybank yang hanya satu dari delapan kreditur, menyatakan setuju terhadap proposal perdamaian yang diajukan oleh debitur.
Apalagi kemudian sesudah pailit, kurator menolak tagihan salah satu kreditur besar BUMN. Sehingga kalau terjadi pelelangan aset, maka hasil penjualan seluruhnya akan jatuh ke pihak Maybank. Tindakan kurator ini bukan saja melanggar kode etik, tetapi juga merupakan tindakan pelanggaran pidana, bahkan juga merupakan tindakan pelanggaran pidana korupsi karena menghilangkan hak tagih negara yang diwakili oleh BUMN.
Sehingga Mahkamah Agung seharusnya mengambil alih masalah ini dalam fungsi pengawasan nya karena sudah terjadi kekeliruan yang nyata. Selain Mahkamah Agung, pihak berwenang lainnya seperti pihak kepolisian, kejaksaan dan KPK perlu menelusuri masalah ini.
Masih segar dalam ingatan kasus mafia hukum yang telah meresahkan hotel-hotel di Bali tahun 2012 silam. Mafia hukum dituding bersekongkol mempailitkan hotel-hotel yang masih sehat, hingga mengalami kerugian yang sangat besar.
Kuasa Hukum PT DRI selaku pemilik Aston Villa, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, mafia hukum yang sering mempailitkan perusahaan terdiri dari oknum bank, pengacara, kurator, dan pengadilan niaga.
“Ada yang tidak beres dari oknum di bank, pengacara, kurator dan Pengadilan Niaga Surabaya. Mereka berusaha dengan segala cara mempailitkan nasabah. Mereka menafsirkan UU kepailitan itu semaunya,” kata Yusril saat itu.
Mantan Menteri Hukum dan HAM ini menjelaskan bahwa setelah berhasil mempailitkan sebuah perusahaan atau perseorangan, para mafia tersebut melelang aset perusahaan/perseorangan dengan murah. Pembelinya pun dituding Yusril bagian dari oknum yang membeli dengan cara kolusi dengan kurator.
Menurut Yusril, modus para mafia hukum mempailitkan adalah dengan membuat seolah-olah para debiturtidak mampu membayar kredit. Semestinya, kata dia, pihak bank sebelum melakukan pailit melakukan analisis mendalam.
“Tapi bank malah mempailitkan nasabah, sehingga nasabah jadi kelimpungan,” tutur Yusril.
Kejahatan mafia kepailitan ini, menurut Yusril, sangat serius karena akan mengancam pengusaha dan mematikan usaha swasta karena dipailitkan dengan cara tidak fair.
Laporan: Muhammad Hafidh